Selasa, 19 Maret 2013

PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO



Kumpulan Puisi
Pujangga Besar Indonesia
Sapardi djoko damono

AIR SELOKAN

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi.  Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.  
 
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
AKU INGIN
 
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

AKULAH SI TELAGA
 

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 ANGIN, 1


angin yang diciptakan untuk senantiasa
bergerak dari sudut ke sudut dunia ini
pernah pada suatu hari berhenti
ketika mendengar suara nabi kita
Adam menyapa istrinya untuk pertama kali,
"hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika
kemudian terdengar jerit wanita
untuk pertama kali,
sejak itu ia terus bertiup
 tak pernah menoleh lagi
-- sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab
tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa  
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 2

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
ANGIN, 3

"Seandainya aku bukan   ......
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . ., ."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya  ...... Tapi kau angin!
Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku.
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ATAS KEMERDEKAAN

kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari  yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
 
Horison
Thn III, No. 8
Agustus 1968
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
 


BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
 
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
 matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
 yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar
 tentang siapa di antara kami
 yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
 tentang siapa di antara kami
yang harus berjalan di depan




BUNGA, 1
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut?  Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia!  Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
 
 
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

BUNGA, 2

   
mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

BUNGA, 3

 
seuntai kuntum melati yang di ranjang itu
 sudah berwarna coklat ketika tercium
udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering:
 wanginya mengeras di empat penjuru
dan menjelma kristal-kristal di udara
ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema
 "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
 
 
 
Perahu Kertas,



Kumpulan Sajak,
1982.
CARA MEMBUNUH BURUNG
 
bagaimanakah cara membunuh burung
yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung
 yang suka berkicau setiap pagi meloncat
dari cahaya ke cahaya di sela-sela
ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam,
 padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka
 
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 

CERMIN, 1
   
 
cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982. 
CERMIN, 2
 
mendadak kau mengabut dalam kamar,
mencari dalam cermin;
tapi cermin buram kalau kau entah di mana,
kalau kau mengembun dan menempel di kaca,
 kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia
 
   
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak 1982.
 
DI ATAS BATU

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan
 kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air
 sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling : matahari yang hilang – timbul
 di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali,
 beberapa ekor capung
-- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.










DI SEBUAH HALTE BIS
 

Hujan tengah malam membimbingmu
 ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. 
 Kau memang tak pernah berumah,
dan hujan tua itu kedengaran terengah
 batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya anak-anak sekolah
 yang menunggu di halte bis itu
melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk.
  Bis tak kunjung datang. 
Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. 
 Mereka menjadi kesal dan,
 bagai para pemabok,
berjalan sempoyongan sambil
 melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit
 menyebut-nyebut namamu.
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

DI TANGAN ANAK-ANAK
 
 
 
Di tangan anak-anak,
kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang,
menjelma burung .
 yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak
 bunga di hutan; di mulut anak-anak,
kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.




DUA PERISTIWA DALAM SATU
SAJAK DUA BAGIAN

1
sehabis langkah-langkah kaki: hening
siapa?
barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu
padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu
2
seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata
yang pernah kaukenal artinya,
yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga
 
    
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982. 
GONGGONG ANJING
untuk Rizki

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur
lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup lewat celah-celah genting
bergema dalam kamar demi kamar
tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.





KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga :
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
 


KEPOMPONG ITU

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi   
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


KETIKA MENUNGGU BIS KOTA,
MALAM-MALAM
"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya.  Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan?  Capung tak suka ke tempat sampah
-- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar  sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte  itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya.  Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi. 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KISAH

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu.  Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


KUKIRIMKAN PADAMU
 
  
 
kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 


KUTERKA GERIMIS
   
   
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 

LIRIK UNTUK LAGU POP

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
-- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
-- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek
-- ketika hutan mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:    
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

MATA PISAU
 
 
 
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
 
     
PERAHU KERTAS

 
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua.  Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 PERISTIWA PAGI TADI
kepada GM
 
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.    
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982.
 
PERTAPA
 

Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua,
atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah,
apa ada bedanya. 
 Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar,
sudah merupakan benih,
sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 

PESAN

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



PESTA
  
 
pesta berlangsung sederhana. 
 Sedikit tangis, basa-basi itu;
tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam,
ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana
 yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka,
tangan, dan kakinya
 
  
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 

 PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
 
angin berbisik kepada daun jatuh
yang tersangkut kabel telpon itu,
 "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!  "
kabel telpon memperingatkan angin
yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu
 menatap angin dengan tajam,
hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 
SAJAK NOPEMBER

 
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman  dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah  suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
 
kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
 
Gelora
Th III, No 19
( Nopember 1962)
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air



SAJAK SUBUH
   
 
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air.  Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi.  Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai.  Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya.  Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi!  "
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982.
 
SAJAK TELUR
  
  dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 
SELAMAT  PAGI  INDONESIA

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu Basis

Thn. XV - 4 Januari 1965
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
SERULING
 
 
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 SETANGAN KENANGAN
 Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu.  Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....
 
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
 
SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan  
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


TAJAM HUJANMU

tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,
1982.
 
 

TEKUKUR

Kautembak tekukur itu.  Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput.  "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai.  "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.  
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 TELINGA


"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
                        Gila
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci -- setiap kata,
setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
                        "Masuklah," bujuknya.
Gila !  Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya

apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

 

TENTANG MATAHARI

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata :
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.


TUAN

Tuan Tuhan, bukan?  Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
 
 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
 


YANG FANA ADALAH WAKTU


Yang fana adalah waktu.  Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi. 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
  

AKU INGIN


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..



HUJAN BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada
pohon berbunga itu,
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu..

(Well, di musim hujan begini, mungkin harusnya ganti hujan bulan Desember ya?)


PADA SUATU HARI NANTI


Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri,
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara lirik-lirik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impiankupun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari


PERTEMUAN

Perempuan mengirimkan air matanya
Ke tanah-tanah cahara, ke kutub-kutub bulan
Ke landasan cakrawala, kepalanya di atas bantal
Lembut bagai bianglala
Lelaki tak pernah menoleh
Dan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan, di pelupuknya sepasang matahari
Keras dan fana
Dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka,
udara yang jenuh)
Ketika mereka berjumpa, di ranjang ini.

  
MAUT

Maut dilahirkan waktu fajar
Ia hidup dari mata air;
Itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
Menjawab teka-teki sejakala
Yang telah menahbiskannya
Menjadi Penjaga gerbang itu
Maut mencintai fajar
dan  mata air, dengan tulus

 
CURAHAN HATI SEORANG AYUDHIA

PADA SUATU HARI NANTI

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun d sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari


PERTEMUAN

perempuan mengirimkan air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal
lembut bagai bianglala
lelaki tak pernah menoleh
dan di setiap jejaknya : melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari
keras dan fana

dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar
bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)
ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini
(Sapardi Djoko Damono)
 

MAUT

maut dilahirkan waktu fajar
ia hidup dari mata air;
itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
menjawab teka-teki sejakala
yang telah menahbiskannya
menjadi penjaga gerbang itu

maut mencintai fajar
dan mata air, dengan tulus

(Sapardi Djoko Damono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar